Senin, 17 Mei 2010

sudut pandang kasus susno duaji

Ikhlas, sebuah kata singkat tapi bermakna sangat sangat dalam. Salah satu kunci kesuksesan manusia dalam menapaki kehidupan. Seringkali aku membaca ataupun mendengar statement senada dengan, "Ikhlas itu kata sederhana, tapi merealisasikan amatlah sulit". Dari statement ini sempat muncul pertanyaan, "Kenapa bisa sulit? Apakah mungkin, sebenarnya manusia lah yang membuatnya sulit?" Wallahu'alam...itu hanyalah satu pertanyaan yang kadang mengusik kepalaku pribadi.

Lewat Kuukir di Langit Luas, Bu Sin Soekarsono berusaha menuangkan tentang hakikat keikhlasan. Nenek dari tiga cucu ini, terlihat menuangkan rangkaian kisahnya dengan tenang, dan itu bisa jadi karena usianya yang sudah kenyang dengan asam-manis kehidupan.

Setetes Embun Pagi, satu cerpen yang menjadi terfavoritku kali ini. Kisah diawali tentang pergulatan harga diri seorang wanita sepuh bernama Niah saat dia terpaksa harus menadahkan tangan di salah satu jembatan penyebrangan. Menjadi pengemis, bukan cara yang indah untuk menikmati sisa hidupnya, tapi dia tak memiliki pilihan lagi saat melihat putri satu-satunya selalu mencibir kerentaannya.

Amplop Biru, kisah pencopetan pertama Nano yang membuatnya harus menanggung penyesalan. Yang membuat Nano selalu dibayangi pria yang dompetnya berhasil dicurinya. Perenungan, ketakutan dan penyesalan, tiga hal ini yang diangkat dengan lembut oleh penulis.

Selain cerpen di atas, masih ada 10 cerpen yang sebagian besar mengambil tema keluarga menjadi latar dari cerpen-cerpennya. Mulai dari sudut pandang ibu, bapak maupun anak. Dan tampak sekali kedewasaan Bu Sin dalam menuangkan cerpen- cerpennya.

Hanya saja, ketenangan dan kedewasaan itu malah bisa menjadi bumerang. Karena, cerita menjadi terasa datar, konflik tidak terlalu memuncak, hanya naik sedikit dan semuanya kembali tenang. Tapi, untuk orang yang ingin belajar sedikit tentang keikhlasan, buku ini layak untuk menjadi sasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar